Monday, June 22, 2015

Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII PATUAN BOSAR OMPU “PULO BATU”


Oleh: Thompson Hs
Sisingamangaraja adalah nama lembaga kerajaan yang
pernah berpusat di Bakara. Kerajaan ini diperkirakan muncul
pada Tahun 1500-an sebagai model raja imam dengan
pengakuan atas sistem bius (organisasi kampung) dan peran
parbaringin (pendeta ritual). Bakara sebagai pusat Kerajaan
Sisingamangaraja merupakan wilayah Bius Sionom Ompu
dengan enam marga penting sebagai pimpinannya, yakni:
Sinambela, Bakara, Manullang, Sihite, Simamora (Purba),

Marbun. Empat marga dari awal merupakan keturunan dari
Siraja Oloan, salah satu keturunan Sorba Di Banua .
Sedangkan dua marga terakhir adalah keturunan Siraja
Sumba dan Naipospos. Keenam marga ini menentukan dalam
legitimasi Kerajaan Sisingamangaraja, di samping prasyarat
supranatural yang dimiliki setiap pewarisnya.
Catatan Adniel Tobing (1953 : 19) menyatakan:
“Menurut kepertjayaan orang Batak keradjaan Si
Singamangaradja adalah pemberian Tuhan Jang Maha Kuasa.
Kuasa yang ada padanja bukanlah pemberian Dewan Rakyat
(kampung, horja, bius), melainkan pemberian Tuhan.
Kepertjayaan tadi adalah berdasarkan bukti2 jang nyata, jang
berkisar disekitar kesaktiannja, kesucian, keluhuran rochnja,
mulai dari jang pertama hingga jang terachir, penuh dengan
perbuatan2 mudjizat jang luar biasa, jang tak dapat diperbuat
oleh manusia biasa. Orang Batak menjebut Si
Singamangaraja: Debata na tarida, sombaon na binoto.
Artinja: Dewata jang dapat dilihat, roch sutji jang dapat
diketahui.”
Prasayarat supranatural ini pada mulanya dikaitkan dengan
salah satu tokoh yang bermukim di wilayah Barus, yakni: Raja
Uti. Dalam silsilah Batak, Raja Uti merupakan cucu sulung
Siraja Batak ,atau anak pertama dari Tateabulan, dan karena
proses kehidupannya yang berubah-ubah, Raja Uti menjadi
penting dalam dunia lama Batak dengan poros keabadiannya
di wilayah Barus. Raja Uti dalam pemahaman sastra lama
Batak dikenal sebagai utusan yang “tidak pernah tua dan
tidak pernah mati”. Namun dalam konstelasi Kerajaan
Sisingamangaraja kemudian tokoh ini dianggap sebagai
paman, karena ibunda yang melahirkan Sisingamangaraja
Pertama adalah Boru Pasaribu. Tentu saja secara khusus
Raja Uti tidak dapat diklaim bermarga Pasaribu, namun
merupakan bagian dari kultus penting di kalangan Klan
Pasaribu.
Kutipan di bawah ini diambil dari catatan dua naskah terkait
Raja-raja Barus dan sebagai indikasi keterkaitan Kerajaan
Sisingamangaraja dengan wilayah itu.
“Adapun negeri Bakarah itu balun ada pakai raja selamanya
dalam pada itu maka sekalian orang di sana meminta’ kepada
Sutan Ibrahim akan tinggal diam di sana menjadi raja...
Adapun tatkala suda dibikin itu rumah maka orang yang
kepala dari itu negeri bawa’ masing-masing anaknya yang
perempuan dalam pada itu Sutan Ibrahim p[il;ih satu orang
akan perempuannya.... Dalam pada itu maka berkata Sutan
Ibrahim kepada segala mereka itu yang akan tinggal di sana,
“Adapun aku sekarang akan berjalan melainkan engkau
sekaliannya tinggal juga. Ini perempuanku nanti apabila lahir
ananya laki-laki ada berbulu pada lidahnya hitam namakan dia
Singa Mangaraja dialah bikin jadi raja di dalam lingkaran
negeri Toba ini semuanya.” (Jane Drakard, ed. 2003 : 181
-182)
Kutipan tersebut mengesankan Sisingamangaraja merupakan
lambang kehormatan dan kebesaran. Singa (melalui Leo
Joosten, 2001 : 304); 1. gambaran, sketsa 2. gambaran
bintang yang dilihat dalam bulan sipahalima) dan mangaraja
sebagai arti berkuasa. Istilah singa menjadi arti simbolis
(berupa hukum, aturan, dll). Dalam pemahaman yang
berkembang Sisingamangaraja dimaksudkan sebagai Imam
Tertinggi dan merupakan Inkarnasi Batara Guru, salah satu
dari Tridewa Batak-Hinduis. Impresi dari doa-doa (tonggo)
Parbaringin mengisyarakatkan Sisingamangaraja sebagai
sosok Sihorus Nalobi Sigohi Nalonga – Parhatian Sibola
Tindang Paninggala Sibola Tali, Sirangrangi Nadapot Bubu
Siharhari Nadapot Sambil, Singa Namangalompoi Singa
Nasohalompoan, Tu Ginjang Sora Mungkit tu Toru Sora Meret,
Pitu Hali Malim Pitu Hali Solam yang harfiahnya dapat
diartikan sebagai yang berbelas kasih, adil, pembebas, kukuh,
dan suci. Kehormatan yang melekat dalam personifikasi
Sisingamangaraja menyerupai empu dalam sosial adat dan
budaya. Ompu I Sisingamangaraja atau sang Empu dalam
faksi Batak yang terurai dalam kelompok Nai Marata, Lontung,
dan Isumbaon menjadi simbol pemersatu.
Pewaris Kerajaaan Sisingamangaraja secara turun-temurun
sudah berlangsung sampai 12 generasi. Setiap generasi
memiliki gelar tersendiri. Sisingamangaraja Pertama dikenal
dengan Raja Manghuntal, Sisingamangaraja Kedua dikenal
dengan Ompu Raja Tinaruan, Sisingamangaraja Ketiga dikenal
dengan Raja Itubungna, Sisingamangaraja Keempat dengan
gelar Sori Mangaraja, Sisingamangaraja Kelima dengan gelar
Parlongos, Sisingamangaja Keenam dengan gelar Pangulbuk,
Sisingamangaraja Ketujuh dengan gelar Ompu Tuan Lombut,
Sisingamangaraja Kedelapan dengan gelar Ompu
Sotaronggal, Sisingamaraja Kesembilan dengan gelar Ompu
Sohalompoan, Sisingamangaraja Kesepuluh dengan gelar
Ompu Tuan Nabolon, Sisingamangaraja Kesebelas Ompu
Sohahuaon, dan Sisingamangaraja Keduabelas dengan gelar
Patuan Bosar Ompu Pulo Batu.
Secara genealogis perintis awal Sisingamangaraja diakui dari
keturunan Sinambela garis Bona Ni Onan . Prinsip genealogis
ini melahirkan silsilah khusus bagi keluarga Sisingamangaraja,
sehingga gelar setiap pewaris Sisingamangaraja kemungkinan
besar sangat terkait dengan sifat genealogis itu, di samping
sifat alami atau supranatural yang dimiliknya. Misalnya gelar
Raja Manghuntal tidak jarang dikaitkan dengan proses
kelahirannya yang menghentakkan bumi Bakara waktu itu
sampai kepada kesaktiannya membantu kerajaan di Barus
ketika melawan serangan dari Aceh. Namun ada kalanya
pewaris Sisingamangaraja menggunakan kembali nama
leluhur seperti yang digunakan pada gelar Sori Mangaraja
untuk Sisingamangaraja Ketiga.
Dalam tulisan ini perhatian khusus kepada Sisingamangaraja
Keduabelas dikaitkan dengan gelarnya sebagai Patuan Bosar
Ompu Pulo Batu. Sisingamangaraja Keduabelas sudah umum
dicatat dengan Sisingamangaraja XII (lahir tahun 1846),
terutama setelah penetapan melalui diktum Presiden Sukarno
pada tanggal 9 Nopember 1961 Nomor 590 sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional bersamaan dengan nama-nama
lainnya seperti: K.H. Samanhudi, HOS Cokroaminoto,
Setyabudhi, dan DR. GSSJ. Ratulangi . Sebagai pewaris
kerajaan, Sisingamangaraja XII ditabalkan pada tahun 1871
atau 1875 setelah kepulangannya dari Aceh .
Penetapan Sisingamangaraja XII sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional menjadi kebanggaan tersendiri bagi
orang Batak dan menjadi pintu informasi secara nasional dan
internasional tentang Kerajaan Sisingamangaraja . Pahlawan
Kemerdekaan Nasional Sisingamangaraja XII setiap tahunnya
diperingati secara kenegaraan karena hitungan resminya
ditarik dari 17 Juni 1907. Saat itu dikabarkan seorang tentara
bayaran dari Ternate dan bernama Hamisi menembak
Sisingamangaraja XII di dekat Lae Sibulbulen, Sienem Kodin
Parlilitan Dairi. Kepastian jasad yang tertembak itu dikuatkan
kemudian melalui pernyataan “Ahu Sisingamangaraja” yang
diadopsi menjadi judul buku Prof. Dr. W.B. Sijabat (Sinar
Harapan, 1983, 488 halaman). Kontrovesi kematian
Sisingamangaraja XII waktu itu dianggap sebagai pemicu
gerakan bawah tanah seperti yang dilakukan parhudamdam
dan parmalim .
Di luar kontroversi parhudamdam dan parmalim, beberapa
waktu kemudian ada kontroversi lain atas kematian cucu
Sisingamangaraja XII yang bernama Pulo Batu. Pulo Batu
menurut Sitor Situmorang adalah anak dari Patuan Nagari
dari istrinya bernama Naenga boru Situmorang. Pulo Batu
dapat dibayangkan menjadi penerus generasi berikutnya atas
kerajaan, karena putra mahkota Patuan Nagari dan Patuan
Anggi ikut gugur dalam perang gerilya. Nama ini dalam jejak
ingatan keluarga Situmorang terkait dengan sebuah situs di
daerah Aceh ketika Patuan Nagari turut belajar ke sana.
Namun nama ini sungguh sangat berarti sebagai pelengkap
gelar Sisingamangaraja XII. Sewaktu ditabalkan gelar
Sisingamangaraja XII hanya dengan Patuan Bosar, yang
berarti Yang Dipertuan Besar. Nama ini secara intrinsik
mengandung kebangkitan kembali nama dan harga diri
kerajaan. Sehingga dua anak Sisingamangaraja XII
menggunakan kesan “Yang Dipertuan” itu melalui nama
Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Namun dengan lahirnya
Pulo Batu, maka gelar Sisingamangaraja XII lengkap dengan
unsur adat, meskipun kemudian dalam silsilah nama tersebut
menjadi dua versi. Versi Bakara mengatakan Pulo Batu
adalah hasil amanah dari Raja Parlopuk, abang
Sisingamangaraja XII. Sebelum Raja Parlopuk meninggal pada
zaman gerilya ada amanah agar Sisingamangaraja XII dapat
melakukan “ganti tikar” atas janda Boru Siregar. Dua anak
sebelum Raja Parlopuk meninggal dilahirkan Boru Siregar,
bernama Raja Ama Pulo dan Raja Himpang. Anak pertama itu
diidentifikasi dalam versi Bakara menurunkan Pulo Batu,
karena amanah lainnya yang harus dilakukan Sisingamangaraj
a XII untuk menghormati abangnya adalah mencantumkan
nama cucu tersulung dari janda Boru Siregar .
Sisingamangaraja XII tidak dapat diingkari dengan gelar
Patuan Bosar Ompu Pulo Batu. Gelar ini dapat diajukan
kembali sebagai revisi atas kepahlawanannya dengan
sejumlah pertimbangan. Pertimbangan pertama adalah sosok
Sisingamangaraja XI sudah lebih awal menyatakan perang
dengan Kolonialisme Belanda melalui Surat Pulas yang
dilakukan di Tarutung. Jadi Sisingamangaraja XI secara
proporsional dapat ditetapkan juga sebagai pahlawan oleh
negara, karena perannya dalam perjuangan Sisingamangaraja
XII begitu penting, terutama dalam membangun kembali
Istana Lumbanraja. Pertimbangan kedua adalah soal nama
Pulo Batu itu sendiri dapat menghargai sifat komunalitas
dalam adat dan budaya. Patuan Bosar Ompu Pulo Batu
saatnya dirujuk kembali menjadi nama Pahlawan
Kemerdekaan Nasional agar tidak menjadi bayang-bayang
keseluruhan atas kedaulatan dan martabat Kerajaan
Sisingamangaraja yang diakui dan dicintai orang Batak,
khususnya oleh Batak Toba.
Catatan Kaki:
1) Sorba Di Banua sampai Mitos Siraja Batak terhitung
sebagai generasi ketiga setelah Sori Mangaraja dan
Isumbaon, kakeknya dan adik dari Tateabulan. Dua anak
lainnya dari Siraja Oloan adalah Naibaho dan Sihotang dan
lahir dari istri pertama di Samosir. Sedangkan yang empat itu
lahir dari istri kedua di Bakara.
2) Siraja Sumba dan Naipospos adalah anak sulung dan
bungsu Sorba Di Banua dari Istri yang kedua. Anak kedua dari
Sorba Di Banua dalam catatan silsilah adalah Siraja Sobu.
Sedangkan Lima (5) orang anaknya dari istri yang pertama
adalah Sibagot Ni Pohan, Sipaet Tua, Silahi Sabungan, Siraja
Oloan, dan Siraja Huta Lima. Siraja Sumba menurunkan
Simamora dan Sihombing. Sedangkan Naipospos menurunkan
Toga Marbun dan Siraja Sipoholon.
Sinambela memliki tiga cabang bernama Raja Pareme, Tuan
Nabolas, dan Bona Ni Onan.
Konon gelar ini juga sempat digunakan Klan Manullang
sebelum munculnya Kerajaan Sisingamangaraja. Sori
Mangaraja merupakan nama dan lambang kerajaan yang
diwariskan oleh keturunan Batak, yang dalam asosiasi Melayu
sering disebut sebagai Seri Maharaja. Di luar jangkauan juga
ada yang mengatakan penggunaan nama dan lambang Sori
Mangaraja dimanfaatkan oleh keturunan Sagala (Tateabulan)
sampai beberapa generasi di wilayah Selatan dan kemudian
tidak beralasan meneruskan identitas awal itu sebagai
kerajaan marga. Nama Sori Mangaraja dalam buku “Sejarah
Batak” (Ompu Buntilan Simanjuntak) diidentifikasi sebagai
pecahan Kerajaan Haru yang tidak takluk kepada Islam dan
bendera yang digunakan Sisingamangaraja kemudian
merupakan warisan dari Sori Mangaraja setelah
mengasingkan diri
ke Baligeraja (Mahligai Raja). Bandingkan dengan catatan
M.O. Parlindungan dalam buku “Tuanku Rao” tentang kudeta
Klan Manullang atas Dinasti Sori Mangaraja versi Sagala.
Lihat Robinson Togap Siagian, 1992 halaman 193.
Di Aceh diperkirakan belajar beberapa tahun setelah Tentara
Padri menyerang dan membakar Istana Lumban Mariste di
Bakara. Sedangkan ayahnya Ompu Sohahuaon
(Sisingamangaraja XI) membangun pengganti istana
diLumbanraja (Kampung Simamora) di Bakara bersama
abangnya bernama Raja Parlopuk.
Penetapan itu dapat diduga melalui peran dan kedekatan
Almarhum Sitor Situmorang kepada Sukarno waktu itu.
Namun perhatian atas kepahlawanan itu semakin mencuat di
zaman Suharto, terutama dengan terbitnya uang senilai Rp.
1.000,- pada tahun 1987.
Pandangan dari pihak Parmalim, terutama pengikut Raja
Mulia Naipospos, menganggap Sisingamangaraja XII tidak
mati. Dalam kebiasaan Parmalim yang dirintis Raja Mulia
Naipospos ada sosok penting sebagai bukti penyamaran
Sisingamangaraja XII tidak mati. Sosok penting itu dengan
pseudonim Raja Nasiak Bagi dengan wujudnya yang lain,
yakni: Raja Tubu, Raja Sitautau, Patuan Raja Malim, Raja
Tumurut Uhum, Raja Tumurut Adat, Raja Sinta Mardongan,
Raja Panjalehi, Raja Pandiori, Raja Pangoloi, Raja Sioloan, dan
Raja Panghophop.
Patuan Nagari adalah anak Sisingamagaraja XII dari istrinya
Boru Sagala dengan adik-adik lainnya seibu bernama Sunting
Mariam, Lopian, Saulina, Sahudat, Raja Karel Buntal, Tambok,
Raja Barita, dan Mangindang. Isteri-isteri lain Sisingamangaraj
a XII adalah Boru Simanjuntak, Boru Nadeak, Boru Regar,
Boru Situmorang, dan Tenna br. Berutu. Dalam Adniel Tobing,
1963 halaman 81.
Informasi ini ditemukan ketika penelitian ke Bakara tahun
2006 dalam rangka persiapan Pertunjukan Ulang Opera Batak
“Pulo Batu” Karya Sitor Situmorang. Karya ini sudah pernah
dipentaskan di Taman ismail Marzuki (TIM) Jakarta Tahun
1984 dengan sutradara Wahyu Sihombing, AWK Samosir, dan
Sitor Situmorang. Dalam rangka ulang tahun Sitor Situmorang
ke-85, naskah “Pulo Batu” saya terjemahkan ke Bahasa
Indonesia dan menjadi pelengkap terbitan ulang buku “Toba
Na Sae” oleh Penerbit Komunitas Bambu. Dalam buku Rainer
Carle “OPERA BATAK Das Wandertheater der Toba-Batak In
Nord Sumatra (Dietrich Reimer Verlag – Berlin – Hamburg,
1990” naskah ini boleh dikatakan merupakan hasil transkripsi
pertunjukan tahun 1984 itu.

No comments: